Paham Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme
eramuslim - Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang berakhir tanggal 29 Juli kemarin, menetapkan 11 fatwa. Namun fatwa MUI tersebut telah menuai kecaman dan pernyataan sinis dari kalangan tertentu umat Islam, terutama fatwa yang mengharamkan paham liberalisme, sekularisme, pluralisme serta paham Ahmadiyah yang kasusnya sedang hangat sekarang ini. Mereka yang
melontarkan pernyataan sinis bahkan menolak fatwa itu, tentu saja kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan paham-paham tersebut. Umat Islam diharapkan mawas diri dengan makin berkembang dan meluasnya penyebaran paham-paham tersebut, karena bertentangan dengan aqidah Islam.
Fatwa MUI untuk Lindungi Umat Islam
Kalau paham-paham ini dibiarkan, aqidah umat Islam akan rusak, kata Ismail Yusanto
Sejumlah tokoh masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, seperti Abdurahman Wahid (Gus Dur), Dawam Raharjo, Uli Absar Abdalla (Jaringan Islam Liberal), Johan Effendi, Pendeta Winata Sairin (PGI) dan tokoh-tokoh lainnya bahkan mendesak MUI agar mencabut fatwa yang mengharamkan paham yang berbeda semisal pluralisme, liberalisme dan Ahmadiyah. Mereka berargumen, fatwa semacam itu seringkali dijadikan landasan untuk melakukan kekerasan terhadap pihak lain. Selain itu, "Indonesia bukanlah negara Islam tapi negara nasional. Jadi ukurannya hukum nasional," begitu kata Gus Dur di gedung PBNU, Jumat (29/7) kemarin.
Menanggapi munculnya pernyataan-pernyataan yang mengecam bahkan menolak fatwa MUI itu, Ketua Umum ICMI Muslim Nasution menghimbau agar umat Islam menyikapi fatwa MUI itu dengan arif dan bijaksana serta selalu mengedepankan cara-cara damai dan Islami, tidak menggunakan kekerasan.
"ICMI melihat realita bahwa fatwa MUI dalam Munas 2005 mendapat dukungan dari mayoritas umat Islam Indonesia. Namun ICMI juga menghargai adanya perbedaan yang terjadi, hendaknya diterima sebagai rahmat dengan sikap tasamuh dan lapang dada," kata Muslim Nasution, di Jakarta, Selasa (2/8).
Sementara itu, Ketua MUI Amidhan menegaskan tidak akan mencabut fatwa yang sudah ditetapkan dalam Munas MUI 2005. "Fatwa MUI ini sebagai seruan moral pada umat Islam," kata Amidhan. Untuk itu MUI akan segera mensosialisasikan fatwa-fatwa yang ditetapkan dalam Munas kemarin dan siap berdialog dengan kalangan mana saja.
Dukungan terhadap MUI juga disampaikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam keterangan pers, Selasa (2/8), Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto menyatakan, fatwa yang ditetapkan MUI dalam Munas 2005, terutama yang berkaitan dengan paham liberalisme, pluralisme adalahhaq. HTI menilai para ulama telah menunjukkan peran sebagai waratsatul anbiya (pewaris para nabi) yang dengan tegas melakukan amar ma'ruf nahi munkar, menegakkan kebenaran dan menolak kebatilan demi kemaslahatan agama Islam dan umatnya.
Umat Islam di Indonesia Harus Waspadai Paham Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme?
Sekularisme terbukti mengekang kebebasan beribadah, di negara sekular Perancis, jilbab dilarang
Seperti sudah disebut di atas, fatwa MUI yang mengharamkan paham liberalisme dan sekularisme, pluralisme dan Ahmadiyah menjadi fatwa yang paling mendapat sorotan sebagian umat Islam yang tidak suka dengan fatwa itu.
Fatwa MUI mendefinisikan liberalisme sebagai pemikiran Islam yang menggunakan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandaskan agama. Sedangkan sekularisme adalah paham yang menganggap agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sementara hubungan antara manusia dengan manusia tak bisa diatur agama. Sementara pluralisme diharamkan karena menganut paham semua agama adalah sama dan bahwa agama bersifat relatif dan tidak ada yang boleh mengklaim agamanya adalah agama yang paling benar, padahal seseorang beragama karena keyakinannya akan suatu kebenaran.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Hasanuddin, seperti dikutip dari kantor berita Antara mengatakan, "Yang boleh adalah pluralitas bahwa kenyataan masyarakat memiliki agama yang berbeda-beda dan karenanya harus saling menghormati dan berdampingan dengan baik."
Tidak bisa dipungkiri, makin banyak orang-orang yang mengembangkan paham Islam liberal, pluralisme, sekularisme di Indonesia. Indonesia yang mayoritas masyarakatnya Muslim, selayaknya mewaspadai paham-paham semacam itu.
Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto mengingatkan, kalau paham-paham itu dibiarkan, aqidah umat Islam di Indonesia akan rusak karena dampaknya akan meluas. "Bisa saja nantinya akan meluas pada liberalisme perilaku, dan lain sebagainya dengan dalih kebebasan itu," ujar Ismail.
Sementara pluralisme, jelas-jelas bertentangan dengan aqidah Islam yang menyatakan bahwa sesungguhnya agama yang benar dan diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (Qs. 3:19). Nabi Muhammad semasa hidupnya, berjuang menyerukan agar semua manusia memeluk Islam, bukan membiarkan umat manusia tetap pada agamanya masing-masing. Dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar pemeluk agama, yang diperlukan hanya sebuah sistem yang mengatur masyarakat Indonesia yang memang plural ini, bukan dengan mengembangkan paham pluralisme.
Kalau ditelaah lebih jauh, agama Kristen sendiri menolak paham pluralisme, apalagi Islam. Dalam sebuah milis disebutkan bagaimana seorang tokoh Katolik di Indonesia Prof. Dr. Frans Magnis Suseno menolak paham tersebut dalam bukunya yang berjudul "Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk." Dalam bab pembahasan mengenai pluralisme agama, Magnis mengatakan, "Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini bersifat menghina kalaupun bermaksud baik." Bukan toleransi namanya, kalau untuk saling menerima, masing-masing orang harus melepas apa yang diyakininya. Kaum yang menganut paham pluralisme, jelas-jelas menuntut agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah memberi petunjuk melalu Al-Qur'an, agar manusia selamat dalam hidupnya.
Sementara dalam konteks agama Kristen, kaum pluralis menuntut umat Kristiani mengesampingkan bahwa Yesus adalah 'Sang Jalan', 'Sang Kehidupan' dan 'Sang Kebenaran.' Itulah sebabnya, menurut Magnis, Vatikan sendiri menolak paham pluralisme.
Paham pluralisme dinilai berbahaya karena mendorong munculnya perbuatan-perbuatan haram seperti doa bersama, menikah beda agama, pengakuan terhadap kelompok homoseksual dan kegiatan haram lainnya.
Masalah sekularisme yang intinya memisahkan agama dan kehidupan, juga bertentangan dengan aqidah Islam. Karena setiap Muslim selayaknya menerapkan syariat agamanya dalam setiap aspek kehidupan sebagai konsekuensi dari keimanannya. Bisa dibayangkan, kalau dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita tidak berpegang pada syariat, bisa dipastikan kehidupan manusia khususnya umat Islam akan mengalami krisis di segala bidang, ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Oleh sebab itu, umat Islam di Indonesia harus mewaspadai paham liberalisme, sekularisme dan pluralisme, yang sepintas terkesan memberi penghargaan terhadap hak asasi manusia, padahal sebaliknya. "Ini adalah urusan umat, bukan urusan kebebasan beragama," tegas Ismail Yusanto dari HTI. Menurutnya, fatwa-fatwa MUI ini seharusnya bisa menjadi landasan pemerintah untuk mengambil sikap kalau memang pemerintah konsisten dengan kebebasan beragama dalam koridor yang sebenarnya.
Bukan tidak mungkin pihak-pihak yang tidak suka dengan fatwa MUI ini, sedang menyusun kekuatan untuk mencegah agar fatwa ini tidak dijadikan landasan untuk membuat keputusan pemerintah. Untuk itu HTI bersama Forum Organisasi Islam yang beranggotakan 36 organisasi Islam rencananya akan melakukan aksi damai untuk mendukung MUI. (ln)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar